Kuliah di Harvard, Lewat Jalur Biasa atau Beasiswa?” Ini salah satu
pertanyaan yang diterima Donny Eryastha saat dirinya diterima di program
Master of Public Administration di Kennedy School of Government,
Harvard University. Lelaki yang menerima gelar sarjananya di Universitas
Indonesia ini mengaku heran dengan pertanyaan tersebut.
Pasalnya,
banyak orang begitu mengagung-agungkan beasiswa untuk mewujudkan
impiannya bersekolah di
luar negeri. Padahal, banyak cara untuk
melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri dengan biaya yang minim
pula.
Donny tidak memungkiri bahwa biaya pendidikan di luar
negeri itu mahal sekali. Namun, melalui Indonesia Mengglobal, dia
berpesan agar Anda yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri tak harus
berhenti berusaha hanya karena gagal meraih beasiswa tertentu.
Jadi,
jangan khawatir. Masih banyak jalan menuju Harvard, juga ke universitas
lainnya di luar negeri. Simak informasi dan tips berikut ini dari
Donny.
-----
"Tentang Beasiswa: Bagaimana Cara Membiayai Kuliah di Luar Negeri?" “Kamu kuliah di Harvard jalur biasa atau jalur beasiswa?”
“Dapat beasiswa dari mana, kok bisa kuliah di Harvard?”
Itu
adalah beberapa contoh pertanyaan pertama yang sering orang sampaikan
ke saya begitu mereka tahu saya pernah kuliah di Harvard. Semua
pertanyaan sah-sah saja, tapi yang saya heran, kenapa
pertanyaan-pertanyaan pertama selalu tentang beasiswa? Bukannya kalau
kagum atau heran saya kuliah di Harvard harusnya yang ditanyakan adalah
bagaimana caranya bisa diterima? Toh kalaupun sesorang dapat beasiswa
belum tentu dia bisa diterima di Harvard. Di sebagian besar sekolah yang
baik, seleksi penerimaan mahasiswa terpisah dengan seleksi untuk
beasiswa. Tidak ada hubungannya kemampuan membayar seseorang dengan
diterima atau tidaknya di sekolah.
Lebih umum lagi, saya juga
melihat perhatian yang membabi buta pada beasiswa. Ada banyak mailing
list beasiswa, website beasiswa, Twitter beasiswa dan sejenisnya, tapi
sedikit sekali tempat berdiskusi tentang kualitas sekolah dan bagaimana
cara diterima di sekolah yang baik.
Saya mengerti sekolah di luar
negeri itu mahal sekali. Kalau kita membandingkan pendapatan per kapita
orang Indonesia dengan biaya kuliah di luar negeri, sepertinya kuliah
di luar negeri itu tidak mungkin dibiayai sendiri. Jadi harus dapat
beasiswa. Maka wajarlah muncul pertanyaan-pertanyaan seperti tadi. Yang
ingin saya luruskan melalui tulisan ini adalah kesalahan menaruh
perhatian membabi buta terhadap beasiswa sehingga melupakan hal lain
yang lebih penting. Saya juga ingin menjelaskan bahwa membiayai kuliah
di luar negeri itu mungkin sekali, dan ada banyak caranya.
Berikut adalah dua prinsip yang harus selalu dipegang:
1. Fokuslah untuk bisa diterima di sekolah yang baik, bukan mendapatkan beasiswa.
Prinsip
utama dalam merencanakan sekolah di luar negeri adalah fokuslah untuk
bisa diterima di sekolah yang baik, bukan mendapatkan beasiswa. Saya
ulangi lagi: FOKUSLAH UNTUK BISA DITERIMA DI SEKOLAH YANG BAIK, BUKAN
MENDAPATKAN BEASISWA. Saya ulangi sekali lagi: FOKUSLAH UNTUK BISA
DITERIMA DI SEKOLAH YANG BAIK, BUKAN MENDAPATKAN BEASISWA.
Saya
sering tercengang bagaimana banyak sekali orang bisa lupa bahwa dalam
proses persiapan sekolah di luar negeri, tujuan utama seharusnya adalah
dapat bersekolah di sekolah yang sebaik mungkin. Beasiswa hanyalah salah
satu alat yang memungkinkan kita sekolah.
Saya umpamakan orang
yang merencanakan sekolah ke luar negeri dengan seorang pria yang
mencari istri. Saya umpamakan juga proses mendapatkan beasiswa dengan
proses membeli mobil untuk menarik perhatian si calon istri. Fokus utama
si pria seharusnya adalah memilih wanita yang akan dijadikan istri dan
mengusahakan agar lamarannya diterima wanita tersebut, BUKAN membeli
mobil agar dapat menarik perhatian wanita. Membeli mobil hanyalah suatu
alat untuk menarik perhatian wanita, dan itu bukan satu-satunya alat.
Memiliki mobil pun bukan jaminan lamaran si pria diterima wanita
tersebut.
Fokus untuk mendapatkan beasiswa bisa berbahaya, karena:
a. Fokus pada beasiswa bisa membuat pelamar mengkompromikan kualitas pendidikan.
Ambil
contoh seseorang yang berencana mengambil MBA di Amerika Serikat. Si
pelamar ini fokus untuk mendapatkan beasiswa. Riset yang dia lakukan
adalah mencari tahu beasiswa apa yang tersedia untuk program MBA di
Amerika. Dari Google dia mendapat berbagai informasi.
Singkat
kata si pelamar ini akhirnya berkuliah di Executive MBA Program Walden
University. Padahal, universitas ini termasuk abal-abal. Padahal
(lagi), program-program MBA terbaik di Amerika juga memberikan beasiswa,
cuma dia tidak tahu saja, karena dia terlalu fokus mencari beasiswa,
bukan mencari tahu program-program mana saja yang terbaik baru kemudian
mencari tahu cara membiayai kuliah di sana.
Contoh lain, beberapa
beasiswa membatasi sekolah yang boleh dilamar, sesuai dengan anggaran
beasiswa. Di Amerika Serikat misalnya, banyak sekali universitas swasta
yang sangat baik (misalnya universitas-universitas Ivy League) yang
biaya kuliahnya lebih mahal daripada universitas negeri. Betapa sedihnya
saat seorang penerima beasiswa terpaksa memilih sekolah yang lebih
buruk kualitasnya karena himbauan atau bahkan larangan si pemberi
beasiswa.
b. Periode aplikasi sebagian beasiswa tidak cocok dengan periode aplikasi sekolah.
Ambil
contoh seseorang yang berencana mengambil master di bidang ekonomi di
Inggris di tahun 2013. Si pelamar ini fokus untuk mendapatkan beasiswa
dulu baru melamar ke sekolah. Beasiswa yang paling umum untuk orang
Indonesia adalah Chevening. Aplikasi Chevening untuk tahun 2013 dibuka
dari Oktober sampai Desember 2012. Penerima beasiswa diumumkan pada
bulan Maret 2013.
Sementara itu, sebagian besar universitas di
Inggris memberlakukan sistem rolling admission, artinya aplikasi yang
masuk akan langsung diproses dan hasilnya diumumkan segera. Tidak ada
batas waktu aplikasi; aplikasi diterima dan diproses sampai seluruh
kursi terisi. Semakin lama, kursi yang terisi semakin banyak. Untuk
kuliah tahun 2013, kebanyakan universitas mulai menerima aplikasi bulan
September 2012. Pada bulan Januari 2013, sebagian besar kursi di
sekolah-sekolah terbaik (seperti Oxford, Cambridge, dan London School of
Economics) sudah terisi. Jika si pelamar menunggu sampai Chevening
mengumumkan hasil beasiswa, baru melamar sekolah, katakanlah paling
cepat di bulan April 2013, hampir dapat dipastikan dia tidak akan
diterima di sekolah-sekolah terbaik. Bukan karena aplikasinya tidak
berkualitas, tapi karena semua kursi sudah terisi. Dia terlambat
memasukkan aplikasi.
Katakanlah si pelamar juga tidak bermaksud
melamar ke sekolah-sekolah terbaik. Pertama, Chevening mensyaratkan
pengalaman kerja minimal dua tahun setelah lulus S1, sedangkan
universitas sendiri tidak mensyaratkan hal ini. Kedua, seandainya si
pelamar tidak mendapat beasiswa Chevening dan dia tidak jadi melamar ke
sekolah karena itu, dia harus membuang waktu minimal satu tahun lagi
sampai periode aplikasi beasiswa selanjutnya. Tidak ada jaminan juga
tahun depannya dia akan mendapat beasiswa Chevening. Sampai berapa tahun
dia harus menunggu sampai bisa mewujudkan mimpinya sekolah di Inggris?
Padahal, kalau saja dia langsung melamar ke beberapa sekolah di Inggris
(tanpa menunggu dia dapat beasiswa Chevening atau tidak) kemungkinan
besar dia diterima sekolah (karena dia melamar ke beberapa sekolah).
c. Beasiswa mensyaratkan ketentuan yang mungkin tidak sejalan dengan ketentuan sekolah dan minat pelamar.
Lembaga
pemberi beasiswa selalu punya misi, misalnya ingin memberdayakan
kelompok masyarakat tertentu. Maka wajar jika mereka lebih
memprioritaskan, atau bahkan memberi kuota khusus, untuk kelompok
tertentu, misalnya wanita, pegawai negeri, orang yang berasal dari
Indonesia Timur, atau korban tsunami. Mereka juga memprioritaskan atau
hanya memberikan beasiswa untuk bidang tertentu, misalnya studi gender,
studi hak azazi manusia, pertanian, atau tata kelola sumber daya air.
Tentu itu haknya si pemberi beasiswa mensyaratkan macam-macam.
Tapi
bagaimana kalau profil si pelamar dan minatnya tidak cocok dengan
ketentuan beasiswa? Ambil contoh seorang pria pegawai bank swasta, asal
Jakarta, yang ingin mengambil MBA. Akan sulit baginya mencari beasiswa
yang cocok. Apakah dia harus mengubah bidang studi pilihannya demi
memperbesar kemungkinan mendapat beasiswa? Atau dia harus menunggu
sampai ada beasiswa yang mensyaratkan profil yang cocok?
2. Ada banyak sekali cara untuk membiayai sekolah, bukan hanya beasiswa.
Jadi
kalau tidak dengan beasiswa, bagaimana caranya membiayai kuliah di luar
negeri? Pertama, saya tidak pernah mengatakan ‘jangan cari beasiswa’.
Beasiswa tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan kuliah di luar
negeri; yang saya katakan adalah fokuslah untuk dapat diterima di
sekolah yang baik, dan usahakanlah berbagai sumber pembiayaan, termasuk
dengan melamar secara strategis ke beberapa beasiswa.
Mari kita rinci berbagai alternatif pembiayaan untuk kuliah di luar negeri:
1. Beasiswa dari sekolah
Ambil
contoh seorang yang ingin kuliah di Columbia University Graduate School
of Journalism, Amerika Serikat, salah satu sekolah jurnalistik terbaik
di dunia. Saya sama sekali tidak familiar dengan sekolah ini, tapi
mampir sebentar saja di website sekolah ini, saya temukan daftar sekitar
100 jenis beasiswa yang ditawarkan sekolah sendiri untuk mahasiswanya.
Beasiswa
ini biasanya dikelola langsung oleh sekolah, proses aplikasinya
bersamaan dengan proses aplikasi sekolah, dan proses seleksinya
dilakukan sendiri oleh sekolah (terpisah dari seleksi penerimaan
mahasiswa). Kemungkinan besar, dari 100 beasiswa ini ada beberapa yang
cocok dengan profil si pelamar. Yang paling penting adalah si pelamar
harus diterima dulu di sekolah tersebut, sehingga dia bisa eligible
untuk berbagai beasiswa tersebut.
2. Beasiswa dari luar sekolah
a. Beasiswa dari badan eksternal
Melanjutkan
contoh kita, misalkan si pelamar mencari beasiswa lain yang disediakan
pihak luar sekolah yang bisa dilamar calon mahasiswa jurnalistik dari
Indonesia. Sebentar saja riset di internet, dia menemukan banyak
beasiswa yang bisa dia lamar, seperti beasiswa Fulbright, Ford
Foundation, USAID, Foreign Press Association, International Center for
Journalists, dan lain-lain.
b. Beasiswa dari tempat kerja
Si
pelamar pun bisa bernegosiasi ke tempatnya bekerja apakah mungkin ia
disponsori untuk kuliah di luar negeri, baik berupa pembayaran uang
kuliah, pembayaran seluruh atau sebagian gajinya saat dia sekolah, dan
lain-lain.
3. Kerja paruh waktu
Kalau si
pelamar diterima sekolah, saat dia mulai sekolah pun banyak cara
membiayai kuliahnya, termasuk dengan bekerja paruh waktu. Dia bisa
bekerja di sekolahnya sendiri misalnya sebagai teaching fellow, teaching
assistant, researcher, assistant librarian, dan support assistant, Dia
juga bisa bekerja di luar kampus misalnya sebagai penulis, penerjemah,
tutor, researcher, bahkan profesi-profesi blue collar seperti pelayan,
penjaga toko, pencuci piring.
4. Tabungan
Tentu saja si pelamar bisa membiayai sebagian biaya kuliahnya menggunakan tabungan pribadinya atau keluarganya.
5. Pinjaman (student loan)
Pelamar
pun bisa mengambil pinjaman (student loan) yang periode cicilannya
biasanya baru dimulai saat si peminjam sudah lulus dan bekerja, dan baru
diharapkan lunas 10-20 tahun kemudian. Tidak semua orang yang kuliah di
luar negeri tanpa beasiswa itu kaya raya. Mahasiswa asal Cina, India,
dan Amerika Serikat sendiri berani mengambil pinjaman karena mereka tahu
penghasilan mereka setelah lulus akan bisa meningkat signifikan.
Anehnya, banyak calon mahasiswa Indonesia yang hanya berani menunggu
beasiswa, entah sampai kapan, untuk mau kuliah. Padahal, orang-orang
yang sama ini berani mengambil pinjaman untuk membeli harta seperti
rumah atau mobil yang tidak akan meningkatkan potensi pendapatan mereka.
6. Donatur individu
Si
pelamar pun bisa mendekati donatur individu yang potensial, misalnya
alumni asal Indonesia dari sekolah yang ia tuju. Ia pun bisa melakukan
kampanye pengumpulan sumbangan dari masyarakat luas. Saya sudah beberapa
kali menyaksikan orang-orang yang mengumpulkan sumbangan agar bisa
kuliah. Mereka sukses membiayai sekolahnya, dan setiap semester mereka
memberikan laporan dan ucapan terima kasih bagi para donatur. Masih
sangat sedikit orang Indonesia yang diterima di universitas-universitas
terbaik dunia; jadi kalau anda sampai diterima, yakinlah, orang-orang
akan bangga dan senang membantu anda.
-----
Jadi, ada
banyak, banyak sekali cara untuk membiayai kuliah di luar negeri,
tinggal tergantung usaha kita. Merefleksikan pengalaman pribadi, pada
bulan Maret tahun 2010, saya berada di situasi di mana Saya diterima di
enam universitas: Harvard, Columbia, Cornell, Chicago, New York
University, dan London School of Economics, tapi belum mendapat satupun
beasiswa. Sampai saat itu saya sudah melamar ke paling tidak 11
beasiswa: enam beasiswa internal Harvard Kennedy School, ditambah
beasiwa eksternal seperti Fulbright (dua kali), Sampoerna Foundation
(dua kali), Joint Japan-World Bank, dan lain-lain, saya sudah lupa apa
lagi.
Saya tidak mendapat satu pun beasiswa ini. Selain itu,
Saya pun sudah mendekati berbagai yayasan, walaupun Saya tahu mereka
tidak menawarkan beasiswa. Akhirnya Saya mendapat beasiswa dari Rajawali
Foundation. Saya tidak melamar ke beasiswa ini; Saya bahkan tidak tahu
bahwa beasiswa ini ada. Harvard langsung mengalokasikan beasiswa ini
begitu Saya diterima. Beruntung? Mungkin saja, tapi Saya lebih
melihatnya sebagai hasil yang sesuai dengan usaha dan strategi yang
optimal. Kalau Saya tidak meneruskan melamar sekolah saat ditolak
beasiswa, mungkin sampai sekarang Saya belum sekolah.
Mencari
sumber pembiayaan sekolah memang repot: menyita energi, waktu, dan
pikiran. Tapi seperti yang dijelaskan di atas, caranya banyak. Apakah
kita bisa mengatakan dengan jujur bahwa usaha kita untuk bisa kuliah di
luar negeri sudah optimal? Anda harus luar biasa sial kalau tidak
mendapat hasil sama sekali walau sudah mengusahakan semua cara yang
dijelaskan di atas. Kalau masalahnya adalah ‘malas’, Saya tidak ada
komentar :)