Taaruf
berasal dari bahasa Arab, secara harfiah maknanya adalah saling
mengenal. Tetapi dalam penggunaan populer, taaruf sering berarti upaya
saling mengenal antara dua calon pasangan yang akan mengikat diri dalam
pernikahan. Teknisnya, taaruf adalah pertemuan antara calon suami dan
calon istri untuk mengenal — baik fisik maupun sifat masing-masing.
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)Dalam
Islam, pernikahan bukan semacam transaksi gelap dan tidak jelas —
seperti orang membeli kucing dalam karung. Pasangan yang menikah justru
harus saling mengenal dan saling menerima kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Dalil perlunya melihat calon istri/suami antara lain tiga hadits berikut ini.
“Apabila
salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan,
kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik
untuk mengawininya, maka kerjakanlah”. (HR Ahmad dan Abu Daud)
“Dari
Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak
menikahi wanita, “Apakah kamu sudah pernah melihatnya?” “Belum,”
jawabnya. Nabi SAW bersabda, ‘Pergilah melihatnya dahulu.’” (HR. Muslim)
Mughirah
bin Syu’bah RA berkata, “Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah
SAW bertanya padaku, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Aku menjawab
‘Tidak.” Lalu beliau berkata, “Lihatlah dia karena melihat itu lebih
dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” (HR. Ibnu Majah)
Mughirah
kemudian pergi rumah calon istrinya, tetapi tampaknya kedua calon
mertua tidak suka. Si calon istri, yang mendengar dari dalam biliknya,
kemudian berkata, “Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku,
maka lihatlah.” Mughairah pun melihatnya dan kemudian mengawini
perempuan itu. (HR. Ibnu Majah)Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafii dan sebagian Hambali menganggap melihat calon istri/suami adalah
sunah — karena itulah perintah Nabi Muhammad kepada Mughirah. Sedangkan
secara resmi, mazhab Hambali memandangnya sebagai sebuah kebolehan,
bukan sunah (Musthafa Asy-Suyuthi Ar-Rahaibani, Mathalib Ulin Nuha fi
Syarhi Ghayatil Muntaha, jilid 5 hal. 11).
Tentu saja, ada kaidah sesuai syariah yang harus dipatuhi saat taaruf. Apa saja? Ini dia:
1. Niat ingin menikahiHanya
pria yang benar-benar berniat menikahi sang perempuan saja yang
dibolehkan melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekadar iseng-iseng atau
coba-coba, padahal di dalam hati belum berniat menikahi, tentu tidak
dibenarkan melihat.
Bahkan ulama Maliki, Syafii, dan Hambali
mensyaratkan bahwa orang yang melihat calon istrinya sudah punya
keyakinan bahwa wanita itu sendiri pun akan menerimanya.
Sementara
mazhab Hanafi tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya
membatasi adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada
timbal-balik antara keduanya (Al-Hathab Ar-Ra'ini, Mawahibul Jalil
Syarah Mukhtashar Khalil, jilid 3 hal. 405).
2. Tidak harus seizin wanitaMughirah
menemui calon istrinya spontan, tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Dari
sini jumhur ulama berpendapat, tak ada ketentuan bahwa wanita mesti tahu
sejak awal bahwa dia akan dilihat.
Sebagian ulama berpandangan
sebaiknya sang wanita memang tidak diberitahu, agar dia tampil alami di
mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin
ditutupi.
Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang
dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk
menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu,
tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai.
Namun mazhab
Maliki berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan,
setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai
tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin
melamar (Shalih Abdussami' Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, jilid 1
hal. 275).
3. Sebatas wajah dan kedua tangan hingga pergelanganJumhur ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam taaruf adalah bagian tubuh yang bukan aurat.
Bila
calon suami ingin melihat calon istrinya, maka dia hanya boleh melihat
wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri
ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar
dan lututnya.
4. Tidak boleh menyentuhYang dibolehkan hanya melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.
5. Melihat berulang-ulangPria
boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja
penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua,
ketiga dan seterusnya.
Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan
bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri
beberapa kali, hingga si pria betul merasa mantap dengan pilihan.
6. Tidak boleh berduaanSebagian
kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk
saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan
gejolak di dalam hati.
Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu
tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau laki-laki
mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung
boleh saja dilakukan.
Pasangan itu bisa saja berjalan-jalan
sambil bercakap-cakap, misalnya sambil berbelanja, berekreasi, atau
melakukan perjalanan bersama. Yang penting tidak berduaan, dan pihak
calon istri didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya.
Yang dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu.
7. Mengirim utusan untuk melihatUntuk
hal-hal yang lebih dalam, terkait dengan aib dan cacat, apabila dirasa
kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka masing-masing pihak
baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara
langsung.
Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik
perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang
sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami. Sehingga detail
keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan.
Dan
demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya
yang laki-laki untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang
calon suami.
Wallahua'lam bishshawab
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc MA